Herman, mungkin bukan
siapa-siapa. Dia hanya seorang warga berumur 44 tahun yang tinggal di desa
Tulang, Kabupaten Karimun, Kepulauan Riau. Karna faktor Ekonomi, ketika muda
pak Herman lebih memilih bekerja di Malaysia ketimbang Indonesia.
Tidak salah tentunya
apabila pak Herman memilih menghabiskan masa di Malaysia untuk bekerja. Faktor
ekonomi serta lingkungan masyarakat yang memang kebanyakan bekerja di Malaysia
turut mendorong kepergian pemuda ini untuk bekerja sebagai kuli bangunan di
sana. Tapi jangan lupa, negara pun sejatinya ikut bertanggung jawab. Kurangnya
lapangan kerja serta rendahnya gaji di Indonesia sesungguhnya cermin wajah
buruk dari perlakuan pemerintah pusat untuk wilayah perbatasan.
Sosok Herman dan
kebanyakan pemuda perbatasan menjadi perhatian saya saat Herman mengatakan
bahwa dia dan kebanyakan temannya yang bekerja disana ternyata tanpa disertai
dengan Limited Stay Permit/Working Visa (Visa untuk tujuan bekerja). Akhirnya,
siapapun yang tertangkap akan berujung pada jeruji besi Malaysia.
Soal visa kerja, jika
pemuda-pemuda ini di tangkap oleh pihak Malaysia, jelas tak seorang pun bisa
membela. Tapi mahalnya serta berbelit-belitnya sistem birokrasi pengurusan visa
kerja, jelas merupakan alasan logis untuk tidak menyudutkan pemuda ini. Apalagi
terhadap pemuda perbatasan yang jauh dari jangkauan pemerintah pusat.
Mungkin, sistem
pengurusan pasport mulai dipermudah aksesnya oleh pemerintah. Namun soal
pengurusan visa izin bekerja sejauh ini masih terbilang menyulitkan. Seorang
dengan visa kerja ini, potongan gaji setiap bulannya wajib selalu harus
diserahkan. Bahkan, potongan gaji saat ini semakin tahun semakin tinggi.
Sementara pengeluaran biaya hidup semakin lama semakin kepalang pula mahalnya.
Belum lagi soal fakta bahwa biaya pembuatan visa permit juga terbilang jauh
dari jangkauan.
Ketika razia, seorang
pelancong yang bekerja (pekerja ilegal) sebisa mungkin harus benar-benar meniru
raut muka dan gaya hidup orang Malaysia. Bahkan, beberapa dari mereka terpaksa
harus bersembunyi dari kejaran perazia. Hal-hal ini biasa dilakukan oleh
pekerja dari Indonesia.
Muaranya, akal pikiran secara tidak langsung
akan menuding rendahnya harapan ekonomi yang ditawarkan pemerintah adalah biang
keladi dari persoalan masyarakat di desa perbatasan. Banyak warga yang
meragukan hidupnya untuk bekerja di Indonesia. Bagaimana mau bekerja sedangkan
lapangan kerja sangat minim, apalagi terhadap pemuda perbatasan yang kurang
mengenyam pendidikan formal. Belum lagi, negara tetangga telah melambai-lambai
menyambut pemuda kita dengan tawaran ekonomi yang jauh lebih menggiurkan.
Hingga sekarang,
kebanyakan pemuda disini juga memilih jalan hidup sebagaimana pak Herman lakukan
ketika mudanya, bahkan tanpa visa kerja sekalipun. Akhirnya, terjadilah krisis
kepercayaan terhadap pemerintah. Mencari nafkah didalam negri dinilai rugi.
Menggali potensi ekonomi desa dinilai hanya menyia-nyiakan waktu.
Persoalanya, pemerintah
toh juga punya hati nurani. Pemerintah masih bertanggung jawab terhadap
kehidupan masyarakat. Satu hal yang pasti, pemerintah tentu masih bercita-cita
untuk mensejahterakan seluruh masyarakat, termasuk masyarakat perbatasan.
Maka, kita tentu sepakat
berharap kepercayaan masyarakat untuk menggantungkan ekonominya terhadap negara
lain tidak menjadi budaya yang terus menerus ada. Sebab hal ini bisa saja
merambat ke suluruh bidang kehidupan masyarakat perbatasan. Bisa jadi justru
Bendera Malaysia lah yang akan berkibar di wilayah ini.
Dalam kasus ini, ketika
pemerintah tak bisa memberi harapan ekonomiyang baik, menjadi pertanyaan mengapa pemerintah
tidak mempermudah birokrasi pengurusan visa kerja beserta potongan gaji yang
menyertainya agar masyarakat terbebas dari ancaman jeruji Malaysia. Agar
pemerintah tidak menimpakan kesalahan kepada masyarakat. Agar para seluruh
pemuda yang bekerja tanpa visa permit hanyalah korban dari perlakuan
pemerintahnya sendiri.
Komentar
Posting Komentar