Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2017

Sumpah dan Menyumpahi Pemuda

Sumpah Pemuda Portugis, Spanyol, Prancis, Inggris, dan Belanda, adalah musuh bebuyutan para pemuda Nusantara yang tak sudi negeri dan bangsanya direbut dan diinjak oleh orang-orang berkulit pucat itu. Para pemuda Nusantara terus bersalin rupa selama rentang lima abad itu. Sedari Mahapatih Gajah Mada, Pangeran Diponegoro, Umar Said Cokroaminoto, RMP Sosrokartono, Tirto Adhi Suryo, Dewi Sartika, Kartini, hingga mereka yang turut hadir di Jalan Kramat 106 pada 28 Oktober 1928 dan mengikrarkan sumpah, sumpah pemuda: Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Bagi saya, sumpah pemuda ini, bukan sekedar ikrar kalimat per kalimat, melainkan berisi suatu tata nilai perubahan; berani berpindah dari titik keterikatan menuju kebebasan yang akhirnya disebut kemerdekaan. Sebab, jika sumpah ha

Lasem, Hadiah Istimewa Tuhan untuk Bangsa

Ditulis sebagai refleksi pasca menyelesaikan kegiatan belajar keberagaman “Lasem Pluralism Trail 2017” 12–15 Oktober 2017. Setiap manusia mungkin saja punya cita-cita tentang konsep masyarakat ideal, tentang bagaimana seharusnya masyarakat hidup berdampingan satu sama lain dan tentang bagaimana keadilan dapat betul betul bermakna hingga mengejawantah dalam kehidupan. Dalam hidup, manusia bebas memilih apapun. Menjadi baik, menjadi jahat, atau tetap bertahan dalam kepura-puraan. Kehidupan selalu mengandung pilihan-pilihan abstrak yang bahkan tak dimengerti siapapun. Dalam melanjutkan hidupnya, pilihan-pilihan tersebut tak pelak dipengaruhi faktor-faktor tertentu dari luar diri manusia sendiri. Dan dalam bertahan hidup, banyak permasalahan-permasalahan yang mesti dihadapi. Tak jarang, banyak manusia tak mampu memecahkan masalahnya. Tak jarang pula, pemecahan masalah-masalah ternyata hanya berupa pergeseran untuk menemui masalah-masalah selanjutnya. Manusia terbiasa berpikir untuk meme

Pewaris Absah Intelektual Cak Nur

Bangsa besar ini diberkahi Tuhan dengan 17 maret tahun 1939. Hari itu adalah hari kelahiran Nurcholis Madjid (Cak Nur) yang berhasil “memodern”kan Islam Indonesia. Kelahiran Cak Nur menjadi bukti absah bahwa nikmat Tuhan manalagi yang harus kita dustakan. Andaikan saja tidak ada Cak Nur sebagai pendobrak dan pembuka pintu ijtihad, kebebasan literasi dan wacana keilmuan khususnya dalam Islam belum tentu terbuka lebar seperti sekarang ini. Tanpa Cak Nur, bisa saja golongan radikal yang dikhawatirkan saat ini sudah lebih dulu menguasai Indonesia. Maka bila masih ada segelintir orang yang nyinyir tentang Tokoh besar simbol pembaharu Islam itu bisa diduga mereka buta huruf sehingga tidak mau membaca sumber-sumber yang sudah tersedia. Cak Nur lahir dari orangtua yang kental dengan Agama. Besar di dunia Pesantren di bawah asuhan para Kyai-Kyai besar. Gelisahnya bertumbuh jadi semangat bertarung melawan kejumudan, yang menindas agama dan bangsanya seenak jidat. Usia belasan tahun Cak Nur  ha