Langsung ke konten utama

Dinamika dan Abdi di Perbatasan

Setelah pembekalan Kuliah Kerja Nyata (KKN) Kebangsaan yang diadakan di Tanjung Pinang Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), para peserta segera disebar menuju desa masing-masing. Saya dan 14 teman yang terdiri dari berbagai organisasi telah mempersiapkan segala gagasan-gagasan menuju desa tempat kami mengabdi, Desa Tulang, Kecamatan Karimun, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri).

Dari pompong (kendaraan laut setempat), keindahan pantai pasir putih Desa Tulang langsung memperlihatkan pesona wisatanya. Pepohonan kelapa dengan angin yang bertiup lembut, sedari awal telah melambai-lambai menyambut kedatangan kami. Dan yang lebih membahagiakan lagi, masyarakat desa menyambut kami dengan sangat ramah sesuai dengan adat melayu umumnya.

Desa Tulang adalah desa yang termasuk dalam kategori 3T (terluar, terbelakang dan terisolir). Meski begitu, desa ini tetap mempunyai potensi wisata yang apabila dikembangkan dapat menjadi sumber perputaran roda ekonomi. Salah satunya adalah pasir putih yang memungkinkan seseorang dapat menikmati suasana senja secara langsung.

Pada siang hari desa ini memang selalu memanjakan mata setiap manusia. Namun, pada malam hari hal itu sangat sulit ditemukan. Sebab listrik yang tersedia sangat terbatas, hanya dari jam 18.00 hingga 22.30 WIB. Hal ini cukup aneh, karna jarak antara desa Tulang dengan Tanjung Balai sebagai ibukota Kabupaten hanya membutuhkan waktu sekitar 20 menit. Ketimpangan antara desa dan kota yang berjauhan mungkin biasa terjadi di negeri ini. Namun ketimpangan desa dan kota yang bahkan bisa saling bertatapan seharusnya merupakan hal yang mustahil.

Bahkan, pelabuhan sebagai akses hilir mudik masyarakat hanya dapat digunakan ketika air pasang. Sebab, pelabuhan yang tersedia sejauh ini terlalu pendek dari yang seharusnya. Akibatnya, setiap kendaraan laut harus menunggu terlebih dahulu waktu pasangnya air laut. Padahal, pantai pasir putih yang dimiliki desa merupakan salah-satu pantai terbaik yang bisa saja akan dikunjungi banyak wisatawan. Belum lagi mengenai sarana-sarana lain seperti jalan dan jaringan telepon yang juga manjadi hambatan masyarakat desa perbatasan Indonesia-Malaysia ini.

Masalah-masalah ini merupakan kebutuhan dasar yang mau tak mau harus dipenuhi oleh pemerintah daerah dan pusat apabila ingin memajukan dan memanfaatkan potensi ekonomi desa Tulang. Pemerintah harus segera mengambil jalan untuk melakukan pembangunan di desa ini. Apabila tidak, keindahan senja pantai pasir putih bisa saja berubah menjadi senja dalam pengertian yang lain. Mungkin saja desa tulang akan sampai keusia senja dengan sangat cepat. Nauzubillah. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tentang Penolakanmu dulu

Malam ini, malam yang begitu dingin, angin bertiup lembut, namun bau matahari masih begitu akrab pada jendela kamar. Melupakan kekecewaan pada secangkir kopi yang malah dirayakan semut. Tepat disamping gelas terdapat satu bungkus rokok lengkap dengan korek api kayu yang biasa kugunakan. Laptop dan buku-buku belum sedikitpun kusentuh padahal niatan awalku ialah membuat suatu artikel untuk kukirimkan ke media masa. Dari dalam, tampak didepan kost jalan masih basah dengan genangan air yang menyerbu langit sore tadi. Ntah karna cuaca yang sejuk atau apa, tiba-tiba lamunanku berubah menjadi melankolis. Pikiran itu menyerang dan menusuk hati hingga membuatku menarik nafas panjang dan memejamkan mata. Wajah itu.. dengan jilbab yang menutupi rambut, mata yang tajam, kedua pipinya penuh, yang jika dipandang dari dekat maka akan tampak sosok gabungan antara Dian Sastro dan Nabilah jkt48 (oke sipp, ini lebayy). Aku masih ingat, disebuah acara OPAK, Tuhan berhasil mempertemukanku d...

Pesantren Bukan Sarang Teroris

Dicetak di koran Republika edisi 21-januari-2016 : Indonesia kembali berhadapan dengan aksi teror bom di Jalan Thamrin. Berbagai macam persepsi bermunculan, salah satunya stigma bahwa pesantren sarang teroris karena pelaku teror salah satu "alumni" pesantren. Tentu, stigma ini hanyalah berita suram yang tanpa didasari kenyataan. Kalaupun pelaku teror itu pernah nyantri, sudah pasti bukan pesantren yang menjadikannya demikian. Sebab, pesantren tak pernah mengajarkan kurikulum yang berlawanan dengan negara. Pendidikan pesantren tak jauh berbeda dengan sekolah umum, yakni untuk mencerdaskan bangsa. Bahkan, pesantren memiliki kelebihan serta ciri khas tersendiri dari aspek keilmuan maupun perilaku individu dan sosialnya. Pertama, setiap santri selalu diarahkan untuk tidak mahir dalam wilayah pikiran semata, tapi agar mendapat ilmu yang berkah. Keberkahan inilah yang menjadi ciri utama etos keilmuan pesantren. Suatu kemustahilan bila pelaku teror dengan segala kejahatan dan peni...

Kesimpulanku

Kata ini bukan sebuah puisi Bukan prosa Bukan pula kata-kata indah yang menyentuh hati Kata ini hanya perwakilan rasa Tentang bagaimana indahnya mencinta Tetapi... Telah kukerahkan seluruh waktuku Keperas seluruh isi kepalaku Namun tak dapat kutemui kata yang mewakili Kesimpulanku.... Cinta tak dapat dinodai oleh kata.. Itu, dari sisi kata Dari sisi individu  aku bukanlah siapa-siapa Aku tak dapat seperti Rumi, Gibran dan Milan Kundera Tetapi kesimpulanku... Apalah artinya semua itu  jika garis senyum saja sudah begitu puitis bagiku.. dibacakan di Aula Insan Cita (AIC) 01-10-2015