“Ruang adalah Tuhan yang Sebenarnya” merupakan tulisan pertama saya di
Qureta. sebuah tulisan yang sebenarnya merupakan hasil perenungan kawan-kawan
diskusi saya di PIUSH. Entah apa yang menarik dari tulisan tersebut, saya tidak
mengerti. Namun yang patut disyukuri dengan segelas kopi ialah fakta bahwa
tulisan tersebut dibaca, dipahami, hingga kemudian ditanggapi dengan baik. Saya
ucapkan terimakasih.
Terlebih dahulu saya memohon
kepada Tuhan yang Maha Entah (YME) agar diberi petunjuk sehingga usaha ini
setidaknya dapat menjadi jawaban atas kekurangan-kekurangan pada tulisan
sebelumnya. Semoga Tuhan yang menjadi inti “permasalahan” kita ini memberi
taufik serta hidayahnya kepada kita semua.
Sekiranya telah tertera
sebelumnya bahwa, Ruang yang saya maksud bukanlah ruang pada pengertian umumnya
seperti ruang makan, ruang tamu, kamar dll. Namun, Ruang yang saya sebut
sebagai Ruang Kosong itu adalah ruang sebagai Genus (جنس) diantara segala hal.
Ruang yang mewadahi materi dan
unsur-unsur yang eksis. Ia jauh sejauh-jauhnya dari manusia namun sekaligus
sangat dekat bahkan lebih dekat daripada urat nadi manusia itu sendiri. Ia
adalah awal sekaligus akhir. Ia tidak terikat oleh materi, universal, menyeluruh,
dan tetap. Bahkan, Ia ada dimana-mana dan pastinya selalu mengawasi tingkah dan
gerak kita. (lihat penjelasan pada jilid pertama).
Prof. Edward Kessel yang
Rektor itu, dalam bukunya Lets Look at Facts, without Bent or Bias, tidak
terlalu banyak menyinggung Ruang. Melainkan lebih fokus pada Materi yang suatu
saat akan habis oleh entropi.
“Thus
the scientific myth of the eternity of matter has been exploded out of
existence by the discovery of the principle of entropy. Even if this universe
were somehow conceived to be eternal, it would continue to lose its mass
incessantly under the effect of entropy”
Maka sangat jelaslah bahwa
pandangan ini kurang tepat jika ditujukan pada “Ruang adalah Tuhan yang
Sebenarnya (1)”. Namun, bukan berarti pula bahwa ruang itu immateri. Ia bahkan
melampaui itu. Untuk itu, mari kita mulai diskusi kembali.
Kitab Rasa’il
Alkindi Alfalsafyah, terbitan Darul Fikr al-Arabi Mesir, editor Muhammad
Abdul Hadi Abu Ridah tahun 1950 Masehi merupakan catatan Alkindi yang sejauh
ini masih terus menjadi referensi utama filsafat islam klasik, utamanya dalam
mencari dan membaca teori penciptaan dari tiada menjadi ada (creatio
ex-nihilo). Melalui itu, Al-kindi bahkan berkesimpulan bahwa Alam semesta ini
adalah tidak terbatas (secara potensial) namun terbatas (secara aktualitas).
Tepat pada halaman 201, pada bab فى وحدانية الله وتناهى جرم العلم memulai
Filsafat Alamnya dengan suatu premis yang menurutnya tak mungkin terbantahkan
lagi.
1. أن كل
الاجرام التي ليس منها شيء أعظم من شيء , متساوية
2.
والمتساوية , أبعاد ما بين نها يا تها واحدة باالفعل والقوة
3.
وذوالنهاية ليس لانهاية له
4. وكل
الأجرام المتساوية , اذا زيد عل واحد منها جرم , كان أعظمها , وكان أعظم مما كان
من قبل أن يزاد عليه ذالك الجرم
5. وكل
جرمين متناهي الظم , اذاجمعا , كان الجرم الكائن عنهما متناهي العظم : وهذا واجب ف
كال عظم وكال ذي عظم
6. وأن
الأصغر من كل شيئين متجانسين , بعد الأعظم منهما أو بعد بعضه
Dari premis-premis primer tersebut Al-kindi menjelaskan bahwa sesuatu yang tak terhingga apabila dipisahkan daripadanya sesuatu yang terhingga maka hasil daripada pemisahan tersebut hanya ada dua kemungkinan. Pertama, sesuatu itu menjadi terbatas. Kedua, sesuatu itu tetap tak terbatas.
Kemudian, dari kitab tersebut
Al-kindi menggiring logika kita untuk memilih pada pilihan yang kedua. Tidak
mungkin sekiranya bahwa sesuatu yang tak terbatas ketika menciptakan sesuatu
yang terbatas ia menjadi terbatas pula.
Hal ini pulalah yang menjadikan
Al-kindi berkesimpulan bahwa Ruang atau Alam yang terbatas tercipta dari
ketiadaan (creatio ex-nihilo). Sederhananya, Al-kindi ingin menceritakan bahwa
dibalik alam meteri الحيلى)) yang tampak ini ada sesuatu yang
samasekali tak-terhingga tempat segalanya bermula .(الفلسفةالأول)
فجرم
الكل متناه , و كل محمول فيه أيضا (الرسائل الكندي الفلسفية)
Berbeda dengan Alkindi, adalah
Al-farabi filsuf muslim sesudahnya, juga menjelaskan keterkaitan dan
keterhubungan antara sesuatu yang tak terbatas dengan yang terbatas, ia
menggunakan teori yang biasa disebut dengan “emanasi” atau pancaran. Bagaimana
dari yang satu dapat menjadi plural melalui pancaran-pancaran diri.
Emanasi dalam pemikiran
Al-Farabi, Tuhan disebut sebagai akal (العقل) yang berpikir tentang
diri-Nya, dan dari pemikiran itu timbul suatu maujud lain. Tuhan itu adalah
Wujud Pertamaالوجودالأول) ) dan dengan pemikiran itu timbul Wujud
Kedua الوجودالثانى) ) yang juga mempunya substansi.
Itu disebut dengan Akal Pertama (العقل الأولى) yang
tak bersifat materi. Wujud Kedua ini berpikir tentang Wujud Pertama dan dari
pemikiran inilah timbul Wujud Ketiga (الوجودالثالث). Proses ini terus berlangsung
hingga pada Akal Aktif (العقلباالفعل).
Hal yang ingin saya tekankan pada
teori emanasi ini, bahwa secara gamblang Al-farabi telah memperlihatkan
kedudukan yang jauh berbeda antara wujud pertama dengan ruang, alam semesta
apalagi ke empat unsur yang saya bicarakan pada tulisan sebelumnya.
Air, api, udara dan tanah hingga
materi-materi lainnya dalam teori emanasi di atas baru akan mewujud melalui
pancaran akal aktif. Menurut Al-farabi, segala hal yang ada di dunia mustahi
ada tanpa adanya akal aktif yang mewadahi sebagai sumber pancaran. Kemudian,
akal aktif juga tidak mungkin ada tanpa adanya sumbernya sumber pancaran yaitu
wujud pertama.
Alkindi dan Alfarabi sengaja saya
hadirkan diatas, disamping karna dua teori mereka sekiranya mewakili antara
teori penciptaan dari ketiadaan dan teori emanasi, gambaran diatas juga dapat
memudahkan kita dalam memahami ruang yang saya maksud.
Selama ini, kita meyakini bahwa
Tuhan berdasarkan konsepsi diatas adalah sosok atau paling tidak semacam
cahaya. Konsepsi merupakan hasil daripada interaksi pengalaman manusia.
Sekarang bagaimana apabila Tuhan dengan konsepsi sebagai sosok atau apapun yang
berbau materi kita rekontruksi menjadi sesuatu yang saya sebut “Ruang
Kosong”. Bisa terbayangkan ? seharusnya tidak. Karna apabila terbayangkan
maka hal itu sudah pasti materi bukan ruang kosong yang sudah saya
jelaskan.
lantas bagaimana cara
membayangkannya ? ya tentu saja mustahil.
Pada akhirnya, melihat persamaan-persamaan itu, sah-sah
saja apabila Ruang kosong diartikan sebagai Tuhan. Alkindi menyebutnya sebagai
pencipta dan Alfarabi menyebutnya sebagai wujud pertama. Sedang kaum muslimin
wal muslimat yang selalu berbahagia itu menyebutnya dengan Allah.
Komentar
Posting Komentar