Beberapa teman minggu ini seringkali
menghubungi saya terkait tulisan saya tentang Ruang yang menurut saya adalah
Tuhan yang sebenarnya. Teman-teman saya tersebut, seolah menuntut dan menanti
jawaban saya perihal tulisan tersebut.
Mungkin emosi teman-teman sudah
campur aduk tak karuan, karena sudah lama menunggu jawaban kepastian dari saya
sampai lumut tumbuh di dinding waktu. Kepedean saya bukan
tanpa alasan sebab tulisan saya tersebut, beberapa kali menjadi obrolan hangat
di qureta melalui tanggapan-tanggapan yang baik dari teman-teman penulis.
Melihat semua tanggapan teman-teman,
jujur saja perasaan saya pun bercampur aduk; antara senang dan gelisah. Senang
sebab artinya tulisan saya dibaca, dipahami dan ditanggapi. Saya berada di
level tertinggi kebahagiaan ketika saya melihat ternyata masih ada kawan-kawan
yang rela menghabiskan waktu dan tenaganya untuk membela saya.
Apalagi ketika abang Ramdhany dalam
Subjudul tulisannya secara jelas menuliskan “tanggapan atas problem teologis
Dedy Ibmar”. Jujur saja, saya merasa seperti failasuf zaman klasik yang
dikritik, diteliti, dan dibela habis-habisan. (tolong biarkan saya berfantasi).
Namun di satu sisi saya pun
sekaligus gelisah gundah gulana tak karuan. Ketika melihat “perang gagasan”
yang terjadi, semakin teman-teman menanggapi tulisan saya dengan berbagai
teori, semakin pula saya percaya bahwa Ruang adalah Tuhan yang Sebenarnya.
Tractacus Logico-Phylosophicus merupakan sebuah karya filsafat yang dirumuskan secara
padat dan disusun berdasarkan berbagai dalil. Ada tujuh dalil utama yang
masing-masing dibagi dalam pecahan desimal, kecuali dalil ke tujuh atau
penutup.
Dalil utama yang ditandai dengan
bilangan bulat (1,2,3,4,5 dan seterusnya) dijelaskan oleh dalil dengan pecahan
desimal (1.1, 1.2, 1.3, 1.4 dan seterusnya). Kurang lebih ada 525 dalil yang
termuat dalam 78 halaman buku tersebut.
Meskipun buku tersebut bergenre
filsafat, Tractacus bukanlah sebuah karya tulis yang panjang.
Buku tersebut sangat kecil untuk genre tersebut, namun tak bisa dipungkiri
bahwa isi tulisan tersebut memuat dasar-dasar pemkiran luas dari pengarangnya,
Wittgenstein. Karena itu, tidak mengherankan apabila buku tersebut berpengaruh
besar terhadap filsafat, khususnya bagi gerakan yang disebut dengan nama
“filsafat analitik”.
Sekiranya, Deden M Rojani, telah
menjelaskan mengenai Konsep Ruang dan Tuhan perspektif Wittgenstein yang
ternyata juga mengandung corak Metafisik. Namun bukan berarti Wittgenstein
menerima begitu saja pandangan metafisik sebagaimana cara yang dipergunakan
para filsuf terdahulu. Baik wittgenstein maupun Russel bertitik tolak dari
kerangka bahasa logika, yaitu menjelaskan struktur realitas melalui struktur
bahasa yang bersifat logis.
Salah satu upaya yang dilakukan
Wittgenstein untuk menunjukkan kerancuan yang terjadi dalam bahasa filsafat
tersebut yaitu membedakan antara konsep nyata (proper concept) dengan
konsep formal (formal consept). Menurutnya, kekacauan terjadi manakala
para filsuf (terdahulu) mencampuradukkan pemakaian konsep formal dengan konsep
nyata.
Konsep formal adalah rangkaian kata
yang serupa dengan konsep nyata, namun sebenarnya tidak mengandung struktur
logis yang sama. Konsep formal hanya merupakan suatu istilah umum dari
rangkaian formal yang diungkapkan melalui “variabel” (faktor yang selalu
berubah-ubah).
Sedangkan konsep nyata adalah
istilah kata yang berkaitan langsung dengan realitas. Pengujian suatu istilah
apakah termasuk dalam konsep nyata atau konsep formal sangat sedehana, yaitu
dengan melihat apakah kita dapat memberikan afirmasi atau negasi terhadap
istilah yang diajukan. Sekiranya, dapat dilihat bahwa Deden M Rojani terjebak
dalam lingkaran ini.
Dalam hal ini ia mengategorikan
Ruang sebagai konsep nyata. Hal ini tidak relevan, sebab apabila ruang
dikategorikan dalam konsep nyata, maka ruang tidak jauh berbeda dengan materi
seperti yang sudah saya jelaskan dalam tulisan pertama saya. Padahal
sebagaimana yang Deden catatkan sebelumnya dalam epistemologi kebenarannya,
bahwa saya tidak mendefiniskan ruang layaknya materi.
Selanjutnya, secara jelas
Wittgenstein menyebutkan bahwa ada tiga hal yang tidak dapat diungkapkan ke
dalam sebuah proposisi, yaitu apa yag disebutnya dengan istilah “the
mystical”. “There are, indeed, things that cannot be put into words, they
make themselves manifest. They are what is mystical.” (Tractacus
Logico-Philosphicus: 6.522)
Ada tiga hal yang dikatakan
Wettgeinsten sebagai The Mystical:
- Subjek; “The Subjek does not
belong the world: rather, it is limit of the world” (5.632)
- Kematian; “Death is not an
event in life: we do not live to experience death” (6.4311)
- Tuhan; “God does not reveal
himself in the world” (6.432)
Dengan demikin, sebab dari awal
teman-teman sudah membaca tulisan Ruang adalah Tuhan yang sebenarnya di mana
saya mengganti rujukan (dilalah) Tuhan, dari yang sebelumnya selalu
digambarkan sebagai suatu sosok menjadi suatu hal yang lebih abstrak dan tidak
mungkin terbayangkan sama sekali; Ruang/Ruang Kosong.
Maka dari itu, saya memposisikan
Ruang sebagai Tuhan. Maka dari itu pulalah, Ruang sama sekali tidak bisa
dipahami melalui Tractacus.
Dalam kesimpulannya pada dalil
ketujuh yang tidak memiliki sub-sub dalil, Wettgenstein menyatakan, “What
we cannot speak about we must pass over in silence.” Kemudian Wettgenstein
pun diam tanpa memberikan penjelasan lagi sebagaimana dalil-dalil 1-6.
Tanpa istighfar apalagi syahadat,
mari kembali bingung bersama.
Komentar
Posting Komentar