
Pernahkah Anda bayangkan bila seluruh pendukung calon gubernur DKI Jakarta yaitu Agus, Ahok, dan Anis dikumpulkan di satu tempat? Apa yang akan terjadi? Apakah mereka akan bertempur seperti di media sosial? Saya yakin mereka akan rukun-rukun saja bila bertatap muka.
Kalaupun ada gesekan, dipastikan tidak sekeras dan seganas seperti di media sosial. Informasi tentang Ahok sebagai penista agama memang bisa begitu populer, tapi belum tentu hal itu benar. Begitu pun sebaliknya. Jumlah orang yang mengatakan Ahok adalah penista agama tidak jauh beda dengan jumlah orang yang mengatakan tidak. Lalu, mana yang benar dan siapa yang tidak? Pergulatan mencari kebenaran soal Ahok ini semakin terdistorsi oleh sikap keberpihakan politik.
Hal ini mempertontonkan realitas yang buram dan pertarungan persepsilah yang menguak. Itulah sebabnya Ahok terus dihina, dicaci, dan ”di-bully” di media sosial, tak peduli apa yang sudah dilakukannya. Bagaimanapun ia meminta maaf dan meneteskan air mata di persidangan, tetap saja persepsi terhadapnyalah yang menguasai arena publik maya. Seseorang akan dengan mudah mengikuti demonstrasi, tapi belum tentu bersedia bertindak nyata.
Maksudnya, setiap orang akan sangat mudah ikut berpartisipasi dalam Aksi Bela Islam, tapi belum tentu mau melapor ke polisi bila punya teman, tetangga, apalagi keluarga yang melakukan hal sebagaimana Ahok. Akhirnya ujaran kebencian (hate speech) melanda di media sosial. Masyarakat sejatinya hanya ingin mengetahui apakah Ahok benar-benar menista atau tidak, tapi susahnya bukan main.
Sebab, yang tersisa bukan lagi kebenaran, tapikepersoalan siapa pendukung dan bukan pendukung. UU Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) mestinya mampu meredakan pengunggahan hate speech, namun yang terjadi sebaliknya. Ujaran kebencian justru semakin marak. Masyarakat merasa media sosial sangat cocok menjadi penyalur kekesalan mereka.
Apalagi, karena ancaman hukumannya hanya empat tahun, polisi tidak bisa lagi serta-merta menahan pelanggarnya sebelum proses peradilan. Pelaku hate speech pun bisa tetap tenang sepanjang tidak ada laporan dari korban kata-kata kebencian tadi. Hate speech, hujatan, memaki, fitnah, adu domba, dan provokasi bisa berbalik menjadi tindak pidana ke penulis dan yang mengunggahnya di media sosial.
Namun, masyarakat belum terbiasa melaporkan hujatan-hujatan tadi sebagai pencemaran nama baik karena trauma masa lalu. Hate speech merupakan delik aduan sehingga ketika sekelompok orang yang melaporkan ada penghinaan kepada Ahok lewat media sosial, polisi tidak dapat mengusutnya, kecuali kalau Ahok sendiri yang melapor. Karena itu, jika sasaran adalah bangsa atau personal yang maya misalnya adu domba dan provokasi, menjadi kewajiban negara atau menkominfo yang harus mengadu ke polisi.
Dikhawatirkan, sejalan dengan makin maraknya ungkapan kata-kata kebencian, polisi akan kewalahan dalam menangani itu. Untuk itu, pemerintah harus lebih tegas dalam penegakan hukum tindak pidana hate speech. Dengan demikian, dunia maya kita bisa kembali damai dan tenteram dan berjalan sebagaimana fungsinya
http://www.koran-sindo.com/news.php?r=1&n=4&date=2017-01-31
Komentar
Posting Komentar