Suasana kehidupan masyarakat
Indonesia pada masa hari raya Imlek tahun ke 2017 (menurut perhitungan kalender
Masehi) sedang dirundung awan kelabu akibat ada pihak-pihak yang menganggap
intoleransi ras, agama dan golongan sedang mengoyak-oyak Bhinneka Tunggal Ika
demi menggusur Pancasila sebagai landasan negara dan bangsa Indonesia dari bumi
Indonesia.
Tudingan rasisme merajalela
seolah bangsa Indonesia memang bangsa rasis bahkan masih ditambah dengan
penindas minoritas. Umat Islam yang memang de facto mayoritas disebut sebagai
kaum radikal yang memusuhi umat agama yang kebetulan minoritas di Indonesia.
Keyakinan seorang Donald Trump yang fundamentalis gemar menista umat Islam
dengan predikat teroris radikal tampaknya juga mewabah di masyarakat Indonesia.
Suasana aman, damai dan
tenteram dirusak oleh perangai saling curiga, saling benci, saling fitnah
bahkan ditambah sepak-terjang saling lapor ke Barekrim, KPK bahkan KPU. Pilkada 2017 dicemari wabah kampanye hitam
yang memburuk- burukkan pihak lawan lewat medsos dengan tidak segan
memanfaatkan jalur hoax demi menebar fitnah keji sampai ke perihal sangat
pribadi yang tidak ada kaitan dengan politik apalagi kepentingan rakyat.
Andaikata Gus Dur menyaksikan
punahnya suasana pluralisme yang terkandung di dalam perayaan hari raya nasonal
Imlek yang telah diperjuangkan oleh Gus Dur untuk kembali hadir di persada
nusantara ini, pasti merasa kecewa dan sedih.
Keragaman Sebagai Dasar
Membangun Bangsa
Klaim primbumi dan
non-pribumi kembali menjadikan hari raya nasional imlek 2017 semakin kelabu.
Padahal sejatinya tidak seorangpun manusia Indonesia dapat memastikan suku atau
ras mana yang paling Indonesia (pribumi) diantara keragaman saat ini. Namun hal
yang pasti ialah suku Tionghoa sebagaimana suku-suku lain sudah di Indonesia
semenjak kerajaan nusantara, bahkan mereka ikut dalam memperjuangkan Indonesia.
Kelahiran bangsa indonesia
bukan dibentuk dari satu golongan. Ia dilatarbelakangi dan dibidani oleh
keanekaragaman suku, agama, ras adan antargolongan (SARA) seperti yang
terhimpun dalam tubuh BPUPKI dan PPKI. Indonesia jelas lahir dari hal yang
dinilai sebagai “biang keladi” konflik bangsa yaitu SARA. Bung Karno, kelahiran
Surabayaa (Jaawa Timur, 1901), beragama Islam dan mantan Ketua Pengurus Besar
PNI. Bung Hatta, kelahiran Bukittinggi (Sumatera Barat, 1902), beragama Islam
dan mantan Ketua Pengurus Besar PNI. Johanes Latuharhary, kelahiran Saparua
(Ambon, 1900),
beragama Kristen dan mantan anggota Pengurs Cabang Parindra
Malang. Kemudian, Lim Koen Hian, kelahiran Banjarmasin (Kalimantan Barat, 1896)
merupakan pendiri PTI (Partai Tionghoa Indoneasia). Nama-nama tersebut
merupakan beberapa anggota BPUPKI dan PPKI yang jelas memiliki perbedaan SARA.
Sumatera, Jawa, Kalimantan, Islam, Kristen, PNI, Parindra, PTI adalah wujud
nyata yang memabentuk Indonesia.
Keanekaraagman SARA ini
mendorong para perintis kemerdekaan untuk membentuk sebuah lembaga kuat yang
mendukung cita-cita dasar negara untuk bebas dari segala bentuk penjajahan dan
mengisi kemerdekaan dengan nilai-nilai dasar yang telah mereka rembuk bersama
dalam sidang BPUPKI dan PPKI.
Kerinduan terdalam para
pejuang kemerdekaan untuk menyatukan diri dalam gerakan-gerakan nasional pada
saat mempersiapkan kemerdekaan, secara de facto membenarkan peran SARA yang
pada hakikatnya bersifat positif dan konstruktif. Contohnya pada masa kolonial
dengan politik divide et impera, dimana SARA juga digunakan oleh para penjajah
untuk mempropaganda masyarakat. Hubungan antar suku, agama, ras dan golongan
di”kotak-kotak”kan sedemikian rupa sehingga menghasilkan perpecahan,
perselisihan dan benih-benih dendam. Namun, kesadaran nasional tentang
kepentingan umum ternyata lebih kuat untuk mendorong para pemuka masyarakat
untuk meleburkan diri dalam lembaga yang mampu menyalurkan suara dan kekuatan
bagi kemerdekaan bangsa.
Ciptakan Toleransi di Hari
Raya Imlek
Indonesia tidak mungkin
berwajah dan berbentuk seperti sekarang kalau tidak diawali dan diwarnai dengan
perbedaan SARA dalam tubuh BPUPKI dan PPKI. Lantas mengapa bukan konflik yang
terjadi? mengapa para “arsitek” negara tersebut justru menghasilkan
“kemerdekaan”?. Jawabannya sederhana, sebab hal yang mereka dahulukan bukanlah
kepentingan komunal atau primordial melainkan kepentingan bersama yaitu
kepentingan seluruh primordial-primordial masyarakat.
Hal yang mereka buru tidak
lain ialah keberadaan bangsa yang benar-benar ber-Tuhan, berperikemanusiaan
berkesatuan, berdemokrasi dan berkeadilan sosial. Tidak ada masalah SARA yang
mencemari kebhinnekaan dengan apa yang disebut intoleransi terhadap keberagaman
masyarakat. Kedaulatan berada ditangan rakyat bukan ditangan para elit politik
yang cenderung memburu kepentingan pribadi dan golongannya masing-masing.
Bagi yang masih gigih
bersikeras menolak hari raya nasional imlek dan menganggap Bhinneka Tunggal Ika
sedang terkoyak-koyak sebaiknya berkenan kembali membuka catatan sejarah
bangsa. Betapa masyakat Tionghoa merupakan salah satu suku yang sangat gigih
berjuang untuk bangsa.
Dengan demikian tugas kita
sebagai penerus para pejuang bangsa adalah menjaga dan merawat kebhinekaan.
Marilah kita ciptakan toleransi antara sesama. Kita buka mata yang berada di
kepala dan hati kita masing-masing untuk melihat kenyataan suasana kesemarakan
dan kebahagiaan yang menghiasi kehiruk-pikukkan Hari Raya Imlek 2017. Imlek
aman Indonesia damai.
Tangselpos edisi 31 Januari 2017
Komentar
Posting Komentar