Bangsa besar ini diberkahi Tuhan dengan 17 maret tahun 1939. Hari itu adalah hari kelahiran Nurcholis Madjid (Cak Nur) yang berhasil “memodern”kan Islam Indonesia. Kelahiran Cak Nur menjadi bukti absah bahwa nikmat Tuhan manalagi yang harus kita dustakan. Andaikan saja tidak ada Cak Nur sebagai pendobrak dan pembuka pintu ijtihad, kebebasan literasi dan wacana keilmuan khususnya dalam Islam belum tentu terbuka lebar seperti sekarang ini. Tanpa Cak Nur, bisa saja golongan radikal yang dikhawatirkan saat ini sudah lebih dulu menguasai Indonesia. Maka bila masih ada segelintir orang yang nyinyir tentang Tokoh besar simbol pembaharu Islam itu bisa diduga mereka buta huruf sehingga tidak mau membaca sumber-sumber yang sudah tersedia.
Cak Nur lahir dari orangtua yang kental dengan Agama. Besar di dunia Pesantren di bawah asuhan para Kyai-Kyai besar. Gelisahnya bertumbuh jadi semangat bertarung melawan kejumudan, yang menindas agama dan bangsanya seenak jidat. Usia belasan tahun Cak Nur harus merelakan diri bergumul dengan buku hingga akhrinya setelah lulus dari Pesantren Cak Nur benar-benar sudah mapan secara keilmuan.
Jujur saja, Cak Nur menjadi tokoh yang gagasan-gagasannya paling banyak mempengaruhi perjalanan spiritual saya. Tulisan-tulisannya sudah banyak saya baca, meski yang belum saya baca masih lebih banyak lagi. Bahkan, satu naskah karya beliau yang dijadikan pedoman ideologi HMI, yaitu Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP), saya hafalkan dan saya baca berulang-ulang dengan intensitas sebagaimana muslim membaca al-Qur’an. Saya adalah mahasiswa yang pasca Latihan Kader 1 HMI langsung bercita-cita menjadi pemateri NDP, lazimnya disebut dengan NDPer HMI. (tanyakan saja hal ini ke bg Dani Ramdhani dan Muflih Hidayat, orangnya masih ada di Ciputat)
Walaupun demikian, bukan berarti pemikiran Cak Nur telah saya pahami seutuhnya. Itu jauh sekali, dan tampaknya hampir bisa disebut mustahil. Pemikiran Cak Nur terlalu luas dan terlalu ensiklopedik, intelektual-intelektual Islam setelah Cak Nur saja bisa dikatakan hanya “catatan kaki” dari Pemikiran-pemikiran Cak Nur. Tetapi seberapa pun yang saya peroleh dari Cak Nur, saya yakin nilai-nilai keislaman yang saat ini saya pegang banyak bersumber dari pikiran beliau.
Berkenalan dengan Cak Nur
Pemikiran Cak Nur saya kenal lewat pintu yang sedikit berputar. Mulanya ketika di pesantren saya belajar Ilmu Kalam yang akhirnya bertemu dengan tokoh pembaharu-pembaharu Islam. Namun sayangnya, dalam pelajaran itu tidak ada satupun Bab yang menjelaskan pembaharuan Islam di Indonesia. Dari sinilah saya kembali memberanikan diri untuk “mencuri buku” di perpustakaan pesantren setelah sebelumnya memang sudah terbiasa.
Setelah memilih beberapa buku di perpustakaan yang berkaitan dengan pembaharuan, semua buku-buku yang saya dapatkan ternyata justru menentang pemikiran Cak Nur. Salah satunya yang paling saya ingat ialah buku dengan judul Menangkal Bahaya JIL dan FLA karangan Hartono Ahmad Jaiz yang hingga kini bukunya belum saya kembalikan. saya menyaksikan betapa buruk reputasi Cak Nur dan para pembaharu Islam di mata Hartono.
Kemudian saya bertanya-tanya: benarkah Cak Nur seperti apa yang Hartono gambarkan? Sedangkan tokoh-tokoh pembaharu Islam di dunia di mata pelajaran Ilmu Kalam saya selalu digambarkan dengan hal positif. Lalu saya membaca buku-buku karangan Cak Nur sendiri dan buku-buku yang memihak pembaruan pemikiran Islam. Bahkan pada suatu momen saya pernah kabur dari pondok pesantren saya hanya untuk mencari buku karangan Cak Nur. Berikutnya, saya mendapati diri saya berada dalam arus dialektika yang menggerus ketenangan.
Saya ingat, sebab Cak Nur seringkali membahas tentang hubungan manusia dan Tuhannya, diam-diam saya membeli dan membawa buku “Sejarah Tuhan” karangan Karen Armstrong yang membuat saya bermasalah dengan ustadz ketika itu. Sejauh ini saya mengakui bahwa saya memang tersesat dan semoga kesesatan ini adalah sesat di jalan yang benar (Shirot al-Mustaqim).
Apa yang diwariskan Cak Nur ?
Inti dari pada buku karangan Hartono Ahmad jaiz sebenarnya sederhana bahwa Cak Nur beserta koleganya yang liberal itu telah merusak moral para pemuda Islam. Sebenarnya bukan hanya Hartono, H.M. Rasjidi, Daud Rasyid dan Ahmad Husnan adalah segelintir penulis yang memposisikan Cak Nur sebagai antagonis beringas yang berbahaya. Para pengeritik Cak Nur sejauh ini memang kebanyakan bersifat emosional dan tidak proporsional.
Hartono misalkan dalam bukunya sangat berani menuliskan salah satu Babnya dengan “Nurcholish Madjid CS Memperkosa Ushul Fiqh Demi Kepuasan Syahwat Pluralisme Agamanya.” Bahkan Hartono dalam buku tersebut berulang-ulang kali menyerupakan Cak Nur dengan “Anjing yang menjulurkan lidahnya”.
Saya kira sudah banyak yang menjawab segala hal yang dituangkan oleh Hartono dan pengeritik Cak Nur yang lain. Dan saya tidak akan membahasnya disini. Mereka tentu saja dihormati oleh Cak Nur. Sebab antara Cak Nur dengan pengeritiknya sebenarnya punya kesamaan: Kritis dan berkarya dengan tulisan. Inilah semangat yang kurang dimiliki oleh HMI sebagai pewaris absah intelektualitas Cak Nur.
Semangat kritis ditambah semangat literasi menulis yang dimiliki oleh para pengeritik Cak Nur, dalam perkaderan HMI telah lama hilang tergerus kuatnya ombak politik praktis. Padahal HMI-lah yang begitu kuat merasakan sentuhan semangat Cak Nur. Kader-kader HMI sebelum era Reformasi terbuti betul-betul mengejawantahkan semangat warisan ini. Bahkan banyak nama yang hingga sekarang ini patut disejajarkan dengan Cak Nur.
Sekarang ini jarang sekali kader HMI berani mengkritisi sesuatu hal. Kalaupun ada, cara ketikannya “hanya” kebanyakan melalui aksi demonstrasi yang tak jarang berujung ricuh. Cara mengkritik HMI tidak lebih baik ketimbang cara Hartono dalam melontarkan kata-kata dalam bukunya. Sederhananya cara HMI tidak lagi elegan malah lebih mirip seperti preman yang telah dipersenjatai oleh senior.
Andaikan saja, para pengeritik Cak Nur mengkritisi Cak Nur berdasarkan teori kuat dan menawarkan konsep kedamaian yang lebih dibanding apa yang ditawarkan Cak Nur, saya yakin gagasan mereka akan mudah diterima dan bisa jadi mereka melampaui torehan Cak Nur dalam dunia akademisi. Ini serius, sebab kritikan pengeritik-pengeritik Cak Nur itu dari Cak Nur masih sangat muda hingga sekarang terus bersambung-sambung. Tidak tanggung, bahkan mereka sanggup menuliskannya di tahap penelitian ilmiah seperti jurnal dan tesis.
Semakin banyak orang yang tidak setuju dari gagasan Cak Nur, ditemani dengan Rokok dan Kopinya di Surga sana, Cak Nur pasti akan semakin bahagia. Karena setuju sepenuhnya terhadap Cak Nur berarti bertentangan dengan prinsip relativitas kebenaran manusia yang didengungkan olehnya sendiri. Ingat, menurut Cak Nur, ia sebagai “Senior” HMI tidaklah mutlak, satu-satunya hal yang wajib dan pantas mutlak hanyalah Tuhan Yang Maha Esa. Ingat !!
Ada yang Terselamatkan
Goenawan Mohamad, dalam pengantar Pintu-pintu menuju Tuhan, dan Budhy Munawar-Rachman dalam pengantar Ensiklopedi Nurcholish Madjid, mengakui bahwa dengan membaca atau mendengar kuliah Cak Nur, ada yang terselamatkan dalam iman mereka.
Saya merasa bahwa yang dialami oleh Gunawan dan Budy mungkin juga sama dengan kondisi spiritual yang saya alami. Karna Cak Nur yang dijelaskan oleh Hartono Ahmad Jaiz itulah pada akhirnya saya memilih terbang dari Pekanbaru ke Ciputat dan masuk dalam lingkaran HMI. Karna pemikiran Cak Nur saya memilih jurusan Aqidah Filsafat di UIN Jakarta yang akhirnya lebih senang berada di ruang-ruang diskusi. Jika benar semua itu adalah “keselamatan” maka berapa pahala yang kiranya diraup Kakanda ini. Sebaliknya jika ini adalah “kesesatan” santai saja Tuhan Maha Pengampun kok. Hehehe
Cak Nur disebut dalam perkuliahan oleh Dosen, Cak Nur setiap tahunnya dipersidangkan di meja skripsi, Cak Nur berkelebat dalam diskusi sembari minum kopi, dan – tentu saja – Cak Nur selalu muncul di arena latihan kader, khususnya saat penyampaian materi NDP HMI. Jika Anda seorang HMI Ciputat, jejak Cak Nur seolah masih terasa di berbagai tempat, seolah Cak Nur baru pergi kemarin sore meninggalkan kita.
Pada sesi materi NDP di Latihan Kader HMI misalkan, bagaimanapun tidak pahamnya para peserta, mereka minimal akan membawa pulang satu atau beberapa pertanyaan seperti: apakah Tuhan ada? Bagaimana dzat Tuhan? Apa itu kebenaran? Benarkah kebenaran benar-benar benar? Dan seterusnya.
Apa pun jawabannya dan bagaimana pun cara menjawabnya, menanyakan persoalan-persoalan mendasar semacam itu dapat menumbuhkan satu nilai intelektual penting yang sangat dihargai oleh Cak Nur, yaitu bertanya dan mencari kebenaran. Konsekuensi logis dari nilai inilah yang membuat seseorang merdeka, meskipun kenyataanya, merdeka kadang membuat hidup menjadi penuh luka, lapar hingga dibunuh oleh senior sendiri.
Kemerdekaan adalah salah satu nilai yang ditanamkan sejak awal maka seharusnya setiap warga HMI terlahir merdeka. Tetapi mau bagaimana lagi ? Faktanya memang masih banyak warga HMI yang terikat, terkungkung dan terjajah oleh senior-senior tuhan-tuhan kecil yang memang begitu menggoda.
Hidup akan selalu penuh dengan misteri yang tidak akan mungkin seluruhnya dapat terpecahkan. Apabila seluruh misteri terpecahkan, maka misteri tidak pantas lagi disebut misteri. Membaca buku-buku Cak Nur perlahan menjawab misteri-misteri. Saya tahu bahwa jawaban-jawaban Cak Nur akan mengantarkan kita pada misteri selanjutnya. Hal inilah yang seharusnya dijadikan lahan perkembangan bagi wacana Islam kedepan. Mudah-mudahan dengan itu kita akan semakin dekat pada Kebenaran. Kebenaran mutlak yang memang benar-benar benar.
Komentar
Posting Komentar