Ditulis sebagai refleksi pasca menyelesaikan kegiatan belajar keberagaman “Lasem Pluralism Trail 2017” 12–15 Oktober 2017.
Setiap manusia mungkin saja punya cita-cita tentang konsep masyarakat ideal, tentang bagaimana seharusnya masyarakat hidup berdampingan satu sama lain dan tentang bagaimana keadilan dapat betul betul bermakna hingga mengejawantah dalam kehidupan.
Dalam hidup, manusia bebas memilih apapun. Menjadi baik, menjadi jahat, atau tetap bertahan dalam kepura-puraan. Kehidupan selalu mengandung pilihan-pilihan abstrak yang bahkan tak dimengerti siapapun. Dalam melanjutkan hidupnya, pilihan-pilihan tersebut tak pelak dipengaruhi faktor-faktor tertentu dari luar diri manusia sendiri. Dan dalam bertahan hidup, banyak permasalahan-permasalahan yang mesti dihadapi. Tak jarang, banyak manusia tak mampu memecahkan masalahnya. Tak jarang pula, pemecahan masalah-masalah ternyata hanya berupa pergeseran untuk menemui masalah-masalah selanjutnya.
Manusia terbiasa berpikir untuk memecahkan masalah. Khusus masalah sosial dan keragaman, tradisi Barat mengajarkan konsepsi manusia sebagai makhluk rasional yang memiliki kesadaran kritis tentang peranan yang dimainkannya. Istilah ini kemudian dibahasakan Cicero, filsuf Yunani klasik, dengan sebutan civilis society, dimana karakter pluralitas keagamaan, kesukuan, nilai-nilai, kepercayaan dan kebudayaan memiliki "the free public sphere" atau ruang publik yang bebas sekaligus tunduk pada nilai dan norma yang diyakini bersama.
Tradisi Timur masih memegang nilai-nilai kemanusiaan dan sopan-santun yang saling memanusiakan manusia, hidup berdampingan dan saling mengasihi. Dalam budaya Timur, kita dibentuk menjadi manusia yang bermanfaat bagi manusia lain. Hal ini kemudian tertuang dalam konsep masyarakat madani yang merujuk pada apa yang dilakukan Rasul selama memimpin Madinah. Sebuah kota dengan masyarakat beradab yang mengacu pada nilai-nilai kebajikan semangat keadaban yang demokratis dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Meski cita-cita pada tataran praktis antara kedua konsep ini sifatnya berbeda-beda, namun pada tataran nilai dan cita-cita Nurcholis Masjid atau yang biasa disapa Cak Nur menyebutkan, bahwa masyarakat madani atau civil society memiliki nilai-nilai yang sama yaitu Inklusifitas, egalitarian dan toleran. Hal inilah yang kemudian layak dijadikan contoh ideal bagaimana seharusnya setiap individu dan sosial mengelola kehidupannya.
Soal pengejawantahan gagasan, dari konsep hingga berbentuk realitas, dari pelajaran konsep ideal bermasyarakat menuju tataran tindakan di lapangan, kita boleh dan layak-layak saja menyebut bahwa "apa yang disebut oleh Cicero dengan civil society nya hanyalah konsep belaka dan tidak akan mungkin menjadi kenyataan" atau "apa yang dilakukan oleh Muhammad ketika di Madinah mustahil dilakukan sekarang, sebab hanya Rasul lah yang bisa melakukan itu".
Namun siapa sangka, masyarakat Lasem, Rembang, Jawah Tengah, dapat menerapkan atau bisa dibilang mendekati dari konsep ideal bermasyarakat ini, meskipun tanpa mengetahui konsep teori sosial apa yang sebenarnya mereka jalani selama ini.
Hanya golongan elit tertentu yang mengetahui, bahwa ketika mereka yang berlatar belakang agama berbeda hidup rukun saling berbagi, dan hidup secara terbuka serta tidak menutup diri hanya berdasarkan kelompoknya, pada konsep pemikiran perilaku demikian disebut inklusif.
Hanya golongan elit tertentu yang mengetahui, bahwa ketika antar penganut agama itu bisa menerima pemimpin yang bukan dari golongannya, sikap itu disebut dengan egaliter. Dan Hanya golongan elit tertentu yang mengetahui, bahwa ketika salah-satu agama merayakan hari besarnya, dan pengikut agama lain ikut merayakan dengan saling berbagi makanan, angpao atau hadiah lainnya, pada wilayah gagasan sikap ini disebut dengan Toleransi.
Hal yang warga Lasem mengerti bahwa perilaku itu positif, baik dan sudah dilakukan oleh para leluhur Lasem semenjak dahulu. Mereka meyakini, Lasem akan terus dalam keadaan baik, bilamana amanat dan tradisi leluhur itu dipertahankan. Sekali lagi, konsep ini bukan dilakukan atas pertimbangan teoretis, juknis apalagi penelitian ilmiah melainkan hanya berdasarkan ajaran non formal yang diberikan orang tua kepada anak-anaknya hingga melembaga menjadi suatu tradisi.
Kyai Zaim Ahmad Ma'soem atau Gus Zaim mengungkapkan, bahwa corak bermasyarakat Lasem sebagaimana sekarang adalah hasil dari asimilasi budaya melalui pergaulan masyarakat termasuk ketika bersantai di warung kopi. Bahkan menurutnya, golongan-golongan yang lebih implisit lagi seperti Nu, Muhammadiyah, hingga Syiah juga hidup secara rukun di Lasem, salah-satu jalur yang dilakukan juga melalui "tongkrongan" warung kopi. Merasa penting untuk melestarikan budaya ini, Gus Zaim kerap memberikan wejangan ke santri-santrinya di pesantren Kauman, untuk sekedar "ngopi" dan berbaur dengan masyarakat Lasem.
Saya semakin yakin bahwa civil society dan masyarakat madani yang dikonsepkan oleh para filsuf terjewantahkan dalam benak setiap individu Lasem, ketika menemukan patung salah seorang leluhur yang beragama Islam di sudut Klenteng Gie Yong Bio. Sebuah patung pria berbusana Jawa diletakan di atas altar pemujaan, lengkap dengan sesajian sebagai persembahan. Bagi saya, ini adalah pemandangan yang tidak biasa. Belum pernah sebelumnya saya menemukan figur pria Jawa diletakan di atas altar pemujaan sebuah klenteng.
Pria Jawa tersebut adalah Raden Pandji Margono, satu dari tiga tokoh pahlawan Kota Lasem yang berhasil menyatukan pluralitas golongan. Bersama dua rekannya, Oey Ing Kiat (Raden Ngabehi Widyadiningrat) – tokoh masyarakat Lasem, dan Tan Kee Wie – seorang pendekar kungfu yang juga seorang saudagar, ia gugur dalam Perang Kuning, sebuah perang terbuka antara golongan Tionghoa dengan kongsi dagang VOC milik Belanda pada tahun 1740.
Bangsa besar ini diberkahi Tuhan dengan Lasem sebagai laboratorium Pluralism. Aroma kesejukan tanpa hingar bingar pemberontakan seperti inilah yang kita rindukan di seluruh daerah lain di Indonesia. Tatkala bangsa terus diteror hantu bernama diskriminasi, tatkala para pakar sibuk memperdebatkan konsep apa yang sesuai dengan keragaman masyarakat, tatkala kita termakan sakralitas simbol dan doktrinal kebencian terhadap perbedaan, masyarakat Lasem bukan hanya selesai pada persoalan pluralitasnya, lebih dari itu, ditemani dengan seduhan kopinya yang hangat, masyarakat Lasem bahkan sangat menghayati dan menikmati perbedaan itu.
Akhirnya, mengenal Lasem, menjadi bukti absah bahwa hidup secara pluralitas adalah nikmat Tuhan yang tak pantas didustakan.
Dimuat juga di Medium.com
Komentar
Posting Komentar