Langsung ke konten utama

Budaya Konsumer di Era MEA



Masyarakat konsumerisme

Manusia telah menyaksikan betapa teknologi menyebarluas dan menjadi kebutuhan tersendiri bagi masyarakat. Terutama setelah revolusi industri di prancis, yaitu ketika bangsa-bangsa “barat” membangun ekonomi mereka dengan bantuan temuan-temuan sains dan teknologi.Kemakmuran” itu, tentu saja berakibat pada bertambahnya volume konsumen yang semakin meningkat. Media (dengan TV setelit, video, DVD, CD dst) menciptakan kultur generasi muda yang terarah pada label Fashion, Gaya, Musik, dan perkembangan teknologi informasi (HP, laptop dst). Hasilnya, terciptalah masyarakat yang bergerak cepat, berlapis dan mempunyai banyak kepentingan. Hal ini menyebarkan pemikiran, cara hidup, perangkat harapan, imej, logo dan produk yang sama, yang dapat menghilangkan nilai-nilai peradaban lokal. Pergeseran kebutuhan pada informasi secara terus menerus akan terjadi ketika ideologi bersaing dipasar. Gaya dan ide dari berbagai zaman, seluruh dunia dapat diakses dan tampil dalam bagian yang penuh dengan tanda dan simbol. Kehidupan menjadi lebih cepat, mudah, terdesentralisasi dengan nilai dan gaya hidup yang memudar.

Jean baudrillard adalah tokoh yang paling provokatif menyuarakan kegagalan modernitas dengan kemajuan teknologinya. Dalam bukunya Les Systemes des Objets (1968) dan La Sociéte de Consommation (1970 ia mengatakan bahwa sebuah benda tidak hanya memiliki use value dan exchange value, tetapi juga memiliki symbolic value dan sign value. Symbolic value adalah logika nilai simbolik yang  berhubungan dengan hubungan subjek dengan subjek lain, seperti contoh cincin kawin. Sedangkan sign value adalah logika perbedaan yang sejalan dengan nilai tanda, yang menempatkan objek lain yang berhubungan dengan tanda lainnya, contohnya seperti pada fashion. Baudrillard berpendapat bahwa konsumsilah yang menjadi inti ekonomi, bukan produksi. Konsumsi membuat manusia tidak mencari kebahagiaan, tidak berusaha mendapatkan persamaan, dan tidak adanya intensitas untuk melakukan peningkatan nilai hidup. Manusia justru melakukan diferensiasi (perbedaan) yang menjadi acuan dalam gaya hidup dan nilai, bukan kebutuhan ekonomi.

Hal inilah yang terjadi pada fashion, keinginan untuk menjadi berbeda memicu terjadinya kegiatan ekonomi yang berbasis pada konsumsi ‘sign value’. Manusia lebih memilih untuk mengkonsumsi tanda dibanding kegunaan suatu barang. Masyarakat seperti ini disebut Baudrillard sebagai masyarakat konsumer. Ciri masyarakat konsumer adalah ketika objek menandai status sosial hingga menggantikan kedudukan sosial yang berdasar pada ras, gender, dan kelas. Seseorang mendapatkan prestise dari konsumsi tanda yang ia lakukan terlepas dari ras, gender, dan kelasnya. Seorang yang menggunakan mobil Lamborgini menempati kedudukan sosial lebih tinggi dari pada pengguna Toyota. Hal inilah yang menarik, konsumsi dapat memanipulasi tanda yang menandakan status sosial melalui perbedaan-perbedaan tersebut. Konsumsi adalah ujung di mana komoditas diproduksi sebagai suatu tanda, dan tanda-tanda itu (yang mengindikasikan adanya kebudayaan) diproduksi sebagai komoditas. Konsumsi tidak sama dengan kegiatan membeli, karena kegiatan membeli didasarkan pada use value, sedangkan konsumsi didasarkan pada sign value

MEA dan Wabah Konsumen

Sebagai negara berkembang, Indonesia telah menjadi salah satu sasaran empuk globalisasi dimana produksi harus dipenuhi dengan konsumsi, permintaan harus menyesuaikan diri dengan penawaran agar tercapai keseimbangan pasar. Dari perspektif infrastruktur, penciptaan pasar global telah menunjukkan bahwa kapitalisme tetap bercokol dalam struktur kehidupan masyarakat. Tak dapat dipungkiri, kapitalisme telah merasuki kesadaran masyarakat tidak hanya di bidang produksi, akan tetapi juga konsumsi. Puncak dari budaya konsumer tersebut dipastikan akan terlihat Masyarakat ekonomi asean (MEA) yang sudah mulai diberlakukan.

Integrasi ekonomi yang diterapkan dalam MEA tidak sama dengan integrasi perekonomian seperti yang diterapkan oleh Uni Eropa (European Union) yang memberlakukan mata uang tunggal (euro) bagi negara anggotanya. Dalam MEA tujuan yang ingin dicapai adalah adanya aliran bebas barang dan jasa, tenaga kerja terlatih (skilled labor), serta aliran investasi yang lebih bebas.

Indonesia sebagai negara dengan penduduk terbanyak di ASEAN merupakan pasar potensial untuk aliran masuk barang, jasa dan tenaga kerja bagi negara lainnya di ASEAN. Sebagai pasar konsumen terbesar di ASEAN maka Indonesia akan sangat berpotensi untuk dibanjiri barang-barang konsumsi. Meluasnya barang-barang tersebut memang memiliki nilai posistif bagi konsumen, dalam hal ini akan semakin banyaknya alternatif pilihan barang dan jasa yang dapat dikonsumsi. Namun demikian, jika tidak disikapi secara bijaksana justru akan menyuburkan budaya konsumtif pada masyarakat. Pada banyak kasus, perilaku konsumtif ini tidak didasarkan lagi pada teori kebutuhan (need), tetapi didorong oleh hasrat (desire) dan keinginan (want). Jelasnya bahwa yang melandasi kehidupan sosial dalam masyarakat konsumer adalah gaya hidup dan status sosial. Maka tidak mengherankan ketika melihat grafik investasi dan saving selalu bergerak turun dari waktu ke waktu.

Wabah budaya konsumtif sangat mencemaskan jika tidak diantisipasi. Hal yang berbahaya adalah ketergantungan pada barang-barang impor, dimana hal ini akan mematikan pasar produk lokal. Budaya konsumtif menjadi bentuk undangan terbuka bagi kapitalisme global untuk mempengaruhi pola pikir, gaya hidup (life style), dan selera untuk menyesuaikan dengan nilai yang melekat pada barang yang mereka hasilkan. Masyarakat didorong untuk merubah gaya hidup dengan cepat, seperti tingkat konsumsi, mode, perilaku sosial serta hasrat untuk terus mengikuti produk-produk baru yang diproduksi dengan cepat.

Memperkuat Pasar Tradisional

Perilaku konsumsi seringkali dipandang sebagai homogenisasi atau heterogenisasi budaya global. Homogenisasi dapat diartikan bahwa budaya lokal akan terdegradasi oleh budaya global atau justru yang terjadi sebaliknya. Budaya lokal akan semakin menunjukkan eksistensinya di tengah berkembangnya budaya global. Maka penting untuk meninjau sejauh mana pengaruh budaya Negara ASEAN lainnya terhadap konsumen Indonesia dan begitupun sebaliknya.

Perubahan pola konsumsi masyarakat diindonesia, khususnya di kota-kota besar, erat kaitannya dengan peningkatan pendapatan rata-rata masyarakat. Bila daya beli masyarakat meningkat maka menimbulkan kecenderungan pengeluaran juga meningkat. Peningkatan pendapatan atau daya beli masyarakat merupakan faktor terpenting yang membuat konsumen mengubah perilaku belanjanya. Konsumen lebih mencari kualitas, hiburan, dan produk yang berhubungan dengan gaya hidup, serta merek produk dengan harga yang kompetitif. Konsumen mengharapkan staf penjualan yang ramah, menyenangkan dan pelayanan yang memuaskan dengan atmosfer belanja yang menyenangkan serta tidak membosankan. Hal ini menunjukkan adanya pergeseran keinginan konsumen untuk berbelanja dari pasar tradisonal (lokal) menuju pasar modern.

Sejak tahun 2000-an Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk meningkatkan kembali peran pasar tradisional. Kebijakan ini bisa dikategorikan ke dalam dua pendekatan: proteksi dan revitalisasi. Pendekatan proteksi antara lain terlihat pada Peraturan Presiden nomor 112 tahun 2007 tentang Pengaturan dan Pengembangan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern, yang mencoba melindungi pasar tradisional dari penetrasi tak terkendali dari pasar modern. Sementara pendekatan revitalisasi merujuk pada berbagai upaya untuk memperbaiki pasar-pasar yang ada secara fisik dan ekonomi, dalam rangka meningkatkan daya saing pasar tradisional dalam kompetisi bisnis modern.

Secara esensial pasar memegang peran penting bagi masyarakat kota, namun saat ini meski telah mendapat dorongan dari pemerintah, kondisi pasar tradisional di Indonesia masih terus menunjukkan penurunan peran secara tajam. Secara fisik, kemunduran ini dicitrakan oleh kondisi pasar tradisional yang kumuh dan kotor, menjadi tempat yang tidak aman dan nyaman untuk aktivitas. Secara ekonomi, penurunan ini juga ditunjukkan dengan semakin enggannya masyarakat kota memilih pasar tradisional sebagai tempat belanja. Jika kemunduran pasar tradisional ini terus berlanjut, dapatkah budaya pasar lokal menigkatkan eksistensi dimata dunia? Atau dengan cepat akan hanyut dibawa arus kapitalisme yang begitu deras? Belum lagi MEA sedang duduk manis menanti didepan mata.


Dengan demikian, hal diatas seharusnya dapat menjadi pertimbangan pemerintah untuk terus memberdayakan pasar tradisional. Pemerintah tidak bisa tidak, dituntut untuk mengatur bagaimana caranya agar produk lokal menjadi konsumsi yang benilai tinggi dibanding produk-produk luar. Sehingga, pola pikir masyarakat konsmen sekarang, tidak hanya tertuju pada produk luar melainkan produk dalam Negri itu sendiri.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tentang Penolakanmu dulu

Malam ini, malam yang begitu dingin, angin bertiup lembut, namun bau matahari masih begitu akrab pada jendela kamar. Melupakan kekecewaan pada secangkir kopi yang malah dirayakan semut. Tepat disamping gelas terdapat satu bungkus rokok lengkap dengan korek api kayu yang biasa kugunakan. Laptop dan buku-buku belum sedikitpun kusentuh padahal niatan awalku ialah membuat suatu artikel untuk kukirimkan ke media masa. Dari dalam, tampak didepan kost jalan masih basah dengan genangan air yang menyerbu langit sore tadi. Ntah karna cuaca yang sejuk atau apa, tiba-tiba lamunanku berubah menjadi melankolis. Pikiran itu menyerang dan menusuk hati hingga membuatku menarik nafas panjang dan memejamkan mata. Wajah itu.. dengan jilbab yang menutupi rambut, mata yang tajam, kedua pipinya penuh, yang jika dipandang dari dekat maka akan tampak sosok gabungan antara Dian Sastro dan Nabilah jkt48 (oke sipp, ini lebayy). Aku masih ingat, disebuah acara OPAK, Tuhan berhasil mempertemukanku d...

Pesantren Bukan Sarang Teroris

Dicetak di koran Republika edisi 21-januari-2016 : Indonesia kembali berhadapan dengan aksi teror bom di Jalan Thamrin. Berbagai macam persepsi bermunculan, salah satunya stigma bahwa pesantren sarang teroris karena pelaku teror salah satu "alumni" pesantren. Tentu, stigma ini hanyalah berita suram yang tanpa didasari kenyataan. Kalaupun pelaku teror itu pernah nyantri, sudah pasti bukan pesantren yang menjadikannya demikian. Sebab, pesantren tak pernah mengajarkan kurikulum yang berlawanan dengan negara. Pendidikan pesantren tak jauh berbeda dengan sekolah umum, yakni untuk mencerdaskan bangsa. Bahkan, pesantren memiliki kelebihan serta ciri khas tersendiri dari aspek keilmuan maupun perilaku individu dan sosialnya. Pertama, setiap santri selalu diarahkan untuk tidak mahir dalam wilayah pikiran semata, tapi agar mendapat ilmu yang berkah. Keberkahan inilah yang menjadi ciri utama etos keilmuan pesantren. Suatu kemustahilan bila pelaku teror dengan segala kejahatan dan peni...

Kesimpulanku

Kata ini bukan sebuah puisi Bukan prosa Bukan pula kata-kata indah yang menyentuh hati Kata ini hanya perwakilan rasa Tentang bagaimana indahnya mencinta Tetapi... Telah kukerahkan seluruh waktuku Keperas seluruh isi kepalaku Namun tak dapat kutemui kata yang mewakili Kesimpulanku.... Cinta tak dapat dinodai oleh kata.. Itu, dari sisi kata Dari sisi individu  aku bukanlah siapa-siapa Aku tak dapat seperti Rumi, Gibran dan Milan Kundera Tetapi kesimpulanku... Apalah artinya semua itu  jika garis senyum saja sudah begitu puitis bagiku.. dibacakan di Aula Insan Cita (AIC) 01-10-2015