Langsung ke konten utama

Kongres HMI Ambon, Kongresnya Generasi Milenial

Kesaktian Kongres HMI

Betapapun besarnya Nurcholis Madjid, ia tetap lah kader HMI yang juga turut terlibat dalam beberapa kongres HMI. Bahkan, tanpa perhelatan kongres HMI, Cak Nur mungkin saja tidak akan segemilang sekarang. Cak Nur bisa disebut satu-satunya kader HMI yang namanya semakin tahun semakin memancar di Indonesia. Bayangkan, betapa saktinya kongres organisasi tua itu.

Dikukuhkannya Cak Nur sebagai Ketua Umum PB HMI pada 1967 jadi peristiwa monumental karena tidak ada preseden dalam sejarahnya, HMI dipimpin oleh kader yang bukan berasal dari universitas sekuler, melainkan justru dari universitas Islam yang menguasai khazanah keilmuan Islam dan mewarisi tradisi politik Masyumi.

Kongres selanjutnya, kongres HMI 1969 di Malang, Cak Nur justru harus berpulang bukan dengan ekspresi wajah bahagia karna terpilih kembali sebagai satu-satunya ketua umum HMI dua periode (1967-1969 dan 1969-1971), melainkan justru dengan perasaan sedih, sebab Cak Nur samasekali tidak menginginkan dirinya lagi untuk maju sebagai ketua umum.

Cak Nur dinilai sebagai figur intelektual yang diharapkan mampu mewujudkan rekonsiliasi antara pemimpin HMI dan Masyumi yang memiliki sejarah konflik sejak awal, terutama terkait konsep dasar negara Indonesia dan pendirian teguh sikap Masyumi terhadap masalah politik praktis.

Dalam situasi yang tidak ideal itu, Cak Nur berhasil melakukan dua ijtihad intelektual yang monumental untuk zamannya. Ijtihad yang mencoba membaca ulang dan mereposisi pemikiran terhadap kondisi dan persoalan ketika itu.

Pertama, Cak Nur melakukan pelembagaan ideologi Islam modern ke dalam Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP) HMI pada 1969, yang jadi panduan ideologis untuk semua kader HMI.
Melalui NDP, Cak Nur berhasil meneguhkan tradisi intelektual Islam dalam HMI yang telah pudar akibat konflik politik dan kesenjangan generasi tua dan muda.

Kedua, Pidato Cak Nur soal "keharusan pembaruan pemikiran Islam dan masalah integrasi umat" pada 2 Januari 1970. Teks itu akhirnya menyulut perang intelektual didalam hingga diluar tubuh HMI.

Tanpa mengurangi takzim kepada Cak Nur, kita bisa melihat bagaimana luar biasanya kongres HMI yang saat ini sering kali kita hujat sebagai tempatnya anarkis, waktunya dana melimpah dan harinya politik kotor. Diluar hal itu, Kongres HMI berpahala besar karna melahirkan sosok pemegang kunci ijtihad di Indonesia, Cak Nur!

HMI Konvensional Vs HMI Milenial

Dibalik deraan kemunduran, sangat terkesan apologis memang bilamana kisah lama kongres HMI masa Cak Nur dipersemikan kembali. Namun demikianlah adanya bila pikiran ingin berlaku adil terhadap kongres HMI yang telah digelar. Bukan hanya keburukannya, hal positifnya juga harus dijewantahkan dengan objektif.

Diibaratkan dengan kapal berusia tua, maka setiap nahkoda yang terpilih, kebanyakan hanya berpikir tentang cara mempertahankan kapal dari terpaan gelombang. Bilamana ia berhasil, sang nahkoda akan naik pangkat yang lebih tinggi secepat mungkin. Padahal selama ia menahkodai kapal, tak sekalipun timbul pikiran-pikiran segar soal modernisasi kapal yang bisa saja disesuaikan dengan kondisi alam yang berefek pada ketahanan umur suatu kapal.

Maka tak ayal, bila HMI tidak lagi sesangar sewaktu muda. Justru kita patut kasihan dengan HMI, sebab silih bergantinya nahkoda, ia hanyalah batu loncatan karir sang nahkoda. Tidak ada lagi pikiran-pikiran segar yang sesuai dengan kebutuhan zaman.

Kongres HMI XXX di Ambon sekarang sangat jauh berbeda dari kongres-kongres sebelumnya, apalagi kongres HMI 1969 masa Cak Nur. Bukan hanya karna perbedaan aroma politiknya, tapi juga karna para pemuda HMI sekarang berada di masa yang disebut generasi milenial yang berusia 17 - 38 tahun. Artinya, hampir seluruh peserta, panitia hingga rombongan liar kongres HMI adalah generasi milenial.

Tidak heran bila kemudian hampir semua kader HMI kini lebih senang berkomunikasi melalui chat grup, bertukar gagas dengan vlog di youtube dan media sosial lainnya, hingga membaca buku melalui daring digital.

Sayangnya, kader generasi Milenial ini berbenturan dengan sistem birokrasi, pola perjuangan, hingga kaderisasi HMI yang masih sangat konvensional. Kaderisasi dalam latihan kader saja misalnya, pola penyakit materi di latihan kader HMI kini bahkan tidak jauh berbeda dengan sepuluh tahun lalu, begitu-begitu saja, stagnan. Bila tak ingin punah dan ditinggalkan, sistem organisasi HMI dari tingkat komisariat hingga pengurus Besar harus segera dimilenialisasikan.

Khusus di momen kongres Ambon, pembicaraan soal program dan tawaran substansial yang mampu menjawab harapan dan kebutuhan generasi Milenial harus didengungkan oleh setiap kandidat. Setiap kandidat harus betul-betul menjadikan dirinya sebagai subjek generasi milenial yang berpolitik. Sebab dengan segala atributnya, generasi milenial sudah memiliki kemampuan dan kapabilitas mumpuni untuk menjadi pelaku utama pentas perpolitikan organisasi.

Satu hal yang penting diingat, Milenialisasi berarti modernisasi, sedang modernisasi, kata Cak Nur ialah rasionalisasi.

Kongres Ambon, Kongresnya Generasi Milenial

https://geotimes.co.id/kolom/sosial/kongres-hmi-ambon-kongresnya-generasi-milenial/

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tentang Penolakanmu dulu

Malam ini, malam yang begitu dingin, angin bertiup lembut, namun bau matahari masih begitu akrab pada jendela kamar. Melupakan kekecewaan pada secangkir kopi yang malah dirayakan semut. Tepat disamping gelas terdapat satu bungkus rokok lengkap dengan korek api kayu yang biasa kugunakan. Laptop dan buku-buku belum sedikitpun kusentuh padahal niatan awalku ialah membuat suatu artikel untuk kukirimkan ke media masa. Dari dalam, tampak didepan kost jalan masih basah dengan genangan air yang menyerbu langit sore tadi. Ntah karna cuaca yang sejuk atau apa, tiba-tiba lamunanku berubah menjadi melankolis. Pikiran itu menyerang dan menusuk hati hingga membuatku menarik nafas panjang dan memejamkan mata. Wajah itu.. dengan jilbab yang menutupi rambut, mata yang tajam, kedua pipinya penuh, yang jika dipandang dari dekat maka akan tampak sosok gabungan antara Dian Sastro dan Nabilah jkt48 (oke sipp, ini lebayy). Aku masih ingat, disebuah acara OPAK, Tuhan berhasil mempertemukanku d...

Pesantren Bukan Sarang Teroris

Dicetak di koran Republika edisi 21-januari-2016 : Indonesia kembali berhadapan dengan aksi teror bom di Jalan Thamrin. Berbagai macam persepsi bermunculan, salah satunya stigma bahwa pesantren sarang teroris karena pelaku teror salah satu "alumni" pesantren. Tentu, stigma ini hanyalah berita suram yang tanpa didasari kenyataan. Kalaupun pelaku teror itu pernah nyantri, sudah pasti bukan pesantren yang menjadikannya demikian. Sebab, pesantren tak pernah mengajarkan kurikulum yang berlawanan dengan negara. Pendidikan pesantren tak jauh berbeda dengan sekolah umum, yakni untuk mencerdaskan bangsa. Bahkan, pesantren memiliki kelebihan serta ciri khas tersendiri dari aspek keilmuan maupun perilaku individu dan sosialnya. Pertama, setiap santri selalu diarahkan untuk tidak mahir dalam wilayah pikiran semata, tapi agar mendapat ilmu yang berkah. Keberkahan inilah yang menjadi ciri utama etos keilmuan pesantren. Suatu kemustahilan bila pelaku teror dengan segala kejahatan dan peni...

Kesimpulanku

Kata ini bukan sebuah puisi Bukan prosa Bukan pula kata-kata indah yang menyentuh hati Kata ini hanya perwakilan rasa Tentang bagaimana indahnya mencinta Tetapi... Telah kukerahkan seluruh waktuku Keperas seluruh isi kepalaku Namun tak dapat kutemui kata yang mewakili Kesimpulanku.... Cinta tak dapat dinodai oleh kata.. Itu, dari sisi kata Dari sisi individu  aku bukanlah siapa-siapa Aku tak dapat seperti Rumi, Gibran dan Milan Kundera Tetapi kesimpulanku... Apalah artinya semua itu  jika garis senyum saja sudah begitu puitis bagiku.. dibacakan di Aula Insan Cita (AIC) 01-10-2015